mentari mulai meninggi di langit barat. pancaran cahayanya perlahan menembus masuk melalui celah gorden yang tak sepenuhnya menutupi jendela mulai mengusik tidur nyenyak seorang remaja. menyilaukan, seakan memaksa itu untuk segera membuka matanya. 'ah, malasnya pergi ke tempat yang aku bahkan tidak pernah sukai itu,' benaknya. buatnya, meningginya mentari memang menandakan bahwa ia harus segera berangkat menuju tempat yang hampir tiap hari terpaksa ia datangi. tempat yang bernama sekolah. ya, sekolah. tempat yang tidak pernah disukainya itu adalah sekolah.namun, apalah dayanya, demi orang yang dicintainya, bapak dan ibunya, rutinitas yang sama sekali tak dinikmatinya itupun tetap ia jalani. baginya, kini ia tengah memasuki fase ke dua dari tiga fase dalam hidupnya. di mana ke tiga fase itu adalah
dengan mengumpulkan sisa semangat, ia pun bergerak, bersiap lalu kemudian berangkat menuju tempat yang bahkan untuk membayangkannya saja sudah membuat matanya mengantuk, badannya serasa dihimpit beban berat, dan pikirannya serasa ada yang memyenggol-nyenggolnya. cih! muaknya dia membayangkan separuh harinya yang harus ia habiskan di tempat itu. tapi, sekali lagi demi orang tuanya, ia tetap mengayunkan kakinya melangkah menuju sekolah. di sekolah? ah, tak usah ditanya! pasti hanya suntuk yang ada dalam hatinya. namun ia bukanlah remaja yang payah. ia tetap memperlihatkan keceriaannya di sekolah, tanpa sedikitpun terbersit rasa tak sukanya pada tempat itu. karena satu hal yang selalu dipegangnya ini
jadilah ia selalu ceria dan tersenyum di sekolah. lalu, apa yang sebenarnya membuat ia begitu tak suka pada tempat itu? apakah karena ia seorang yang malas, tak suka belajar? tidak, bukan itu ternyata alasannya. sama seklai bukan itu alasannya.ia tak pernah menyukai sekolah bukan karena ia tak ingin belajar. bukan, bukan itu. sekali lagi sama sekali bukan itu. lalu apa? ternyata ia adalah salah satu korban lemahnya sistem pendidikan di negearanya.di mana sistem pendidikan di negaranya mengharuskan semua anak menempuh pendidikan yang monoton. selama sembilan tahun, semua anak di negara itu dipaksa memahami apa yang belum tentu mereka suka. bahkan bisa jadi yang mereka sulit untuk mengerti. semua anak dipaksa untuk mengerti. bukan diajarkan untuk mengerti. dan itu lah yang terjadi pada remaja ini. ia adalah seorang anak dengan kemampuan sedikit di bawah rata-rata dalam hal memahami. bukan ia bodoh, tapi ia memiliki kemampuan dibidang lain yang tak pernah di kembangkan atau diajarkan di tempat yang bernama sekolah itu. namun, di sekolahnya tak jarang ia dimarahi dan malah diberi beban lebih untuk memahami apa yang memang sulit ia pahami. padahal tak setiap orang memang akan memiliki kemampuan yang sama dalam suatu hal. jika teman-temannya memiliki kemampuan lebih dalam memahami pelajaran di sekolah, tak berarti remaja tadi tidak pintar, bukan? pun seorang einstein pernah berujar
itulah yang selalu membuatnya tak pernah suka dengan tempat itu. ia merasa bodoh dibanding temannya yang lain. padahal sebenarnya tidak. ia cerdas. bukankah harusnya kecerdasan tak hanya diukur melalui kemampuan memahami pelajaran di sekolah? namun itulah yang terjadi saat ini, yang terjadi padanya. seorang hanya akan diakui kecerdasannya, hanya akan disebut pintar, hanya akan dipanggil jenius, jika dan hanya jika ia mampu dengan baik dan cepat memahami pelajaran yang diberikan di sekolah. bah! tolak ukur macam apa itu, yang bahkan membuat remaja lain sepertinya tak suka pada sekolah. bukankah sekolah harusnya menjadi tempat yang menyenangkan? bukankah sekolah harusnya tidak hanya menjadi tempat kita mendengar ceramah ilmu yang diberikan para pendidik? bukankah ini yang harusnya para siswa lakukan?
ya, itulah hal yang membuat si remaja ini sangat tidak menyukai yang namanya sekolah. itulah alasannya mengapa ia sangat malas, bahkan untuk sekadar membayangkan bahwa esok hari ia harus kembali ke sekolah. apalagi untuk benar-benar berangkat ke sekolah, ah, betapa malasnya ia! namun, ada satu hal yang menarik dari remaja ini, ia memiliki cita-cita yang sangat tinggi. meski ia merasa tak secerdas teman-teman sekolahnya yang lain, atau bahkan tak jarang ia menganggap dirinya bodoh apalagi setelah menghadapi ujian dan hampir selalu mendapat nilai yang buruk, ia tetap memiliki cita-cita yang luar biasa. bukan cita-cita biasa. tapi cita-cita yang bertujuan untuk belajar! ya, sekali lagi, ia memang bukan tak mau belajar. hanya cara belajar di sekolah saja yang tak ia sukai. itulah yang membuatnya ingin belajar dengan cara yang lain, dan menjadikan cara itu sebagai cita-citanya. ia bercita-cita untuk melakukan perjalanan, berkeliling dunia, agar ia bisa bertemu dengan orang-orang dari seluruh negara di dunia ini. ia meyakini satu hal, bahwa tiap orang pasti memiliki suatu pengetahuan yang tak ia miliki. ia percaya
remaja itu tak pernah pesimis. tak pernah sekali pun patah semangat. ia yakin, bahwa suatu hari nanti, ia pasti akan meraih cita-citanya untuk belajar dari orang-orang di seluruh dunia! sekali pun tak pernah terbersit rasa putus asa pada dirinya. meski kini, di masa pendidikan, di masa sekolah yang tengah ia jalani, ia adalah si korban pendidikan itu. ia lah korban pendidikan yang hampir selalu dianggap gagal dalam pendidikannya, hanya karena ia tak berhasil dalam ujian-ujian sekolahnya. meski ia selalu nyaris tidak lulus di setiap ujian yang dipaksakan oleh negaranya, ujian yang bernama ujian nasional. ujian yang memaksa remaja-remaja sepertinya menyamaratakan kemampuan mereka di satu bidang, yang belum tentu di bidang itulah kemampuan mereka. ujian paksaan. namun, sekali lagi ia tak pernah putus asa pada hasil-hasil ujiannya itu. karena yang ia yakini adalah
yang kini ia yakini adalah bahwa dirinya tidak bisa hanya dinilai dari selembar kertas ujian itu. hasil ujian bukanlah hal yang menentukan masa depannya. tapi, bagaimana ia mau terus belajar dengan caranya, hingga ia meraih mimpi yang diinginkannya, untuk tetap terus belajar. selamat meraih mimpi, hai korban pendidikan!
terima kasih pada sumber gambar:
-link
-twitter; @maswaditya
-twitter; @LifeProAdvices
Produk gaya pendidikan a la Orba.
BalasHapusBersyukurlah mereka yang tersadar dan terlepaskan.
Ngomong-ngomong yang ini juga setopik bang -> https://twitter.com/AgusSunyoto/status/448710777365487617
Keren penyampaiannya gan! Kapan-kapan gue share ya. Hahaha
wah itu yang ente retweet tadi ya bang? emang mantep bgt sih itu pembahasannya (y)
Hapusalhamdulillah bang, kan belajar dari ente cara penyampaian kaya gini, hehe
Doi dosen di Unibraw kalau nggak salah. Jadi setidaknya bukan pihak yang "asal bunyi" lah ya. (?)
HapusHahaha rasanya aye belom pernah nulis bergaya begini dah
haha pihak yang 'asal bunyi' (y)
Hapusane terinspirasi dari tulisan bang master yang judulnya kalau gak salah 'kisah seorang pemudah payah' bang, hehehe
Yoi, contohnya aye (lah)
Hapus"Sebuah Kisah Pemudah Payah" kali. Tapi yang itu kan pembawaannya sok serius nan jayus (?)