Selasa, 27 Mei 2014

Ini Bukan Tentang Kemampuan, Tapi Tanggung Jawab

Renungan malam, sebuah self-reminder
Boleh jadi..
Kamu merasa dirimu terlalu kecil atas amanah yg tengah kamu jalani. Menatap orang lain begitu hebat dan berhasil dengan gemilang dengan amanahnya.
Boleh jadi..
Semua hal tiba-tiba saja bersama-sama dan bersepakat membuat kekacauan dalam hari harimu dalam setiap amanahmu.
Sebagaimana umar bin abdul aziz memaknai kepemimpinannya, bahwa amanah adalah tentang seberapa besar kamu dan jiwamu sepenuhnya bertanggung jawab.
Tanggung jawab yang membuatmu memangkas habis waktu istirahatmu, membuat tatihmu menjadi lari yang begitu cepat, atau membuat ketidaksukaanmu dipaksa untuk mencintai yang kamu kerjakan.
Tanggung jawab itu yang membuat kemampuanmu tumbuh, membuatmu belajar dengan jauh lebih cepat dari yang lain.
Dan suatu saat disatu titik, saat kamu merenung, percayalah, tiba-tiba saja kamu menyadari semua tanggung jawab yang selama ini kamu perjuangkan telah membuatmu menjadi manusia yang lebih hebat.
Karenanya..
Bersedihlah, bukan karena kemampuan yang tak kamu miliki sekarang dalam mengemban suatu amanah.
Tapi bersedih saat kamu mnyadari tanggung jawabmu mulai cacat. 

Bismillah...

| ps: terimakasih untuk pesannya, teman

Perjalanan Menuju Puncak Papandayan

Jalan-jalan, man!
para pendaki gunung papandayan
Ya, kemarin saya baru saja kembali dari sebuah perjalanan yang mendekatkan diri dengan alam. Bersama Sembilan orang teman lain, kami bersepuluh melakukan perjalanan ke salah satu gunung terindah dari sekian banyak gunung-gunung indah di alam Indonesia ini. Kami baru saja melakukan pendakian gunung papandayan!
salam indah dari papandayan
Awalnya, anggota kelompok kami yang berasal dari Unit Kebudayaan Melayu Riau ITB ini berjumlah sebelas orang. Namun di hari keberangkatan, tepatnya hari Jumat malam, salah seorang anggota mengundurkan diri, dikarenakan sakit mendadak yang ia rasakan. Jadilah kami hanya beranggotakan sepuluh orang, termasuk saya. Karena perjalanan akan dimulai Sabtu subuh, kami semua sepakat untuk tidur di satu tempat yang sama, agar tidak ada yang ketinggalan akibat bangun kesiangan. Hasilnya, rencana kami berhasil!

Kami memulai perjalanan di Hari Sabtu sehabis sholat subuh, berangkat menuju terminal cicaheum bandung. Sesampainya di terminal cicaheum, melihat rombongan kami yang memakai carrier, para sopir dan kenek kendaraan umum di terminal lansung menghampiri dan menghujani kami dengan pertanyaan,’mau ke mana mas, garut ya?’ Ya, gunung papandayan memang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Mungkin, abang-abang itu bisa menebak tujuan kami dari carier yang bersandang di punggung kami. Tapi kami lebih memilih untuk membeli sarapan terlebih dahulu. Dan roti bakar pun menjadi pilihan kami untuk mengisi perut di pagi itu.

Setelah roti bakar kami matang, kami langsung menaiki bis tujuan Garut, untuk segera memulai perjalanan. Bis dari Bandung menuju Garut ini umumnya bertarif 15 ribu. Tapi dengan sedikit ilmu lobi-lobi, kami cukup membayar 13 ribu untuk bisa sampai di terminal Guntur, Garut. Singkat cerita, setelah 3 jam perjalanan, kami pun sampai di terminal Guntur, Garut. Dari sana, kami langsung menaiki angkot untuk menuju pertigaan cisurupan. Biaya angkot dari terminal Guntur menuju pertigaan cisurupan ini adalah 10 ribu perorangnya. Ketika sampai di pertigaan cisurupan, kami langsung ditawari untuk menaiki mobil bak terbuka untuk menuju gerbang awal pendakian gunung papandayan. Daripada berlama-lama, kami langusng setuju untuk menaiki salah satu mobil bak terbuka tersebut dengan tarif 20 ribu perorangnya. Jalan yang dilewati dari cisurupan menuju gerbang awal pendakian gunung papandayan ini terbilang sangat menarik. Diawal, kita akan disuguhi perumahan penduduk yang dihuni oleh orang-orang yang sangat ramah, selalu tersenyum ketika kita melewati mereka. Ah, ramah memang ciri orang Indonesia, bukan? Setelahnya, kita akan melewati track jalan yang berlubang, dan bisa dibilang lubang di jalannya sangat dalam. Itu membuat mobil bak terbuka harus melewatinya dengan hati-hati. Kita yang berada di atasnya? Tentu saja akan sangat menikmati goyangan si mobil akibat jalan berlubang itu, cukup munimbulkan adrenalin.
di atas mobil bak terbuka
Setelah sekitar 20 menit perjalanan di atas mobil bak terbuka, kami pun sampai di gerbang awal pendakian gunung papandayan. Di sini para pendaki diharuskan melakukan pendaftaran dan membayar uang registrasi sebesar 4 ribu perorangnya. Harga yang sangat murah dibandingkan dengan pemandangan yang akan disuguhi oleh alam gunung papandayan. Di area gerbang awal pendakian ini juga terdapat warung-warung yang menjual berbagai jenis makanan, camilan, minuman, dan aksesoris gunung. Di tempat ini juga masih tersedia kamar kecil untuk para pendaki yang mungkin ingin buarng air terlebih dahulu sebelum atau sesudah melakukan pendakian.

Setelah persiapan sebelum naik dimatangkan, kami pun memulai pendakian gunung papandayan. Di awal pendakian, kita akan melewati jalan berupa bebatuan dan disuguhi pemandangan berupa kawah bekas letusan gunung papandayan di tahun 2002, yang sampai saat ini kawah tersebut masih aktif mengeluarkan gas belerang. Sangat disarankan untuk menggunakan masker di track awal pendakian ini, sebab menghirup gas belerang bisa membuat pusing, bahkan pingsan. Tapi jangan khawatir, pemandangan alam Indonesia yang tersaji sangat bisa membuat kita tidak terpengaruh oleh gas belerang yang kita hirup.
track awal pendakian yang berbatu
gas belerang yang menemani di awal pendakian
Setelah melewati track kawah bebtuan dan penuh dengan gas belerang, kita akan melewati jalan yang cukup kecil. Kita juga akan melewati sebuah sungai kecil, bisa digunakan untuk membasuh muka agar mengembalikan kesegaran. Jika ingin sedikit menyusuri sungai ini, kita akan disajikan pemandangan berupa sebuah curug. Keindahan alam yang sungguh luar biasa!
sungai mengalir jernih
curug yang akan ditemui di perjalanan
 Setelah sedikit membasuh muka, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini jalan yang dilalui adalah jalan setapak. Kita akan disuguhi fenomena bentukan alam berupa singkapan (credit to Angga), sebelum akhirya sampai di pondok saladah, tempat terkahir di mana kita bisa mendirikan tenda untuk bermalam. Kami pun segera mencari spot yang nyaman untuk mendirikan tenda. Setelah selesai mendirikan tenda, kami melakukan kegiatan bersenang-senang (baca: ngaso, foto-foto, main air, makan, tidur, main , nyanyi, apapun). Tak terasa malam pun datang menjemput. Setelah puas melihat beribu bintang di langit, hujan meteor yang kami harapkan tidak kunjung terlihat, dan api unggun yang tak kunjung nyala, kami memutuskan untuk tidur, dan berencana melanjutkan perjalanan esok, jam 4 pagi. Semua terlelap dalam dinginnya malam gunung.

Pukul setengah 4 pagi kami semua telah terbangun. Dengan persiapan seadanya, kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung papandayan. Jalur yang kami pilih adalah jalur melewati hutan mati (death forrest). Namun, sebelum mencapai hutan mati, kami sedikit tersesat di gelapnya malam di tengah hutan gunung papandayan. Kami baru berhasil kembali ke jalur yang benar saat fajar telah muncul di ufuk timur. Beruntung, kami masih bisa menikmati terbitnya sang mentari (sunrise) dari hutan mati. Kembali, pemandangan kawah bekas letusan yang dipadukan dengan temaramnya warna sang mentari yang muncul malu-malu, adalah suatu kombinasi pemandangan yang sangat luar biasa!
salam dari mentari pagi gunung papandayan

“Indah sekali negeri ini, Tuhan. Izinkan kami selalu menjaganya.”

Meski belum terlalu puas, kami memilih untuk melanjutkan perjalanan. Dari hutan mati ini, kami menempuh perjalanan mendaki yang cukup menantang. Kemiringan tanjakan menuju tegal alun ini hampir mencapai 45 derajat. Cukup membuat produksi adrenalin menjadi lebih cepat. Dan setelah sekitar setengah jam berjalan, kami akhirnya sampai di tempat tujuan, tempat tertinggi gunung papandayan, tegal alun. Tegal alun adalah suatu padang edelweiss yang sangat luas. Pemandangan yang sangat menyejukkan hati dan fikiran. Apalagi ditambah dengan hijaunya hutan dilembah-lembah sekitarnya. Ah, indahnya alam mu, Indonesiaku.
tegal alun, padang edelweis
lembah pinggiran tegal alun
 Setelah puas bersama alam tegal alun, kami pun turun kembali, menuju pondok saladah untuk terlebih dahulu mengambil barang yang tadi kami tinggalkan di tenda. Selesai beberes barang dan tenda, kami segera memulai perjalanan turun. Waktu yang dibutuhkan untuk turun pastinya lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Dan hanya dalam waktu 2 jam, kami telah kembali sampai di gerbang awal. Di gerbang awal ini kita harus kembali melapor bahwa kita telah selesai melakukan pendakian, dan juga meletakkan sampah yang kita bawa dari gunung di tempatnya demi menjaga kebersihan alam. Setelahnya, kami pun kembali ke bandung, dengan cara yang sama seperti berangkat. Yaitu dengan menaiki mobil bak terbuka dari gerbang awal ke cisurupan dengan biaya 20 ribu perorangnya, lalu naik angkot menuju terminal Guntur dengan biaya 10 ribu perorangnya, dan terakhir naik bis tujuan bandung dengan biaya 15 ribu perorangnya. Perjalanan kami kali ini ditutup dengan berpisah menuju kamar kost masing-masing.

Satu hal yang pasti, alam Indonesia ini sungguh sangat luar biasa indahnya. Jangan pernah sia-siakan itu. Berjalanlah di bumi Ibu Pertiwi, ke mana pun! Karena dengannya, akan kita temukan bahwa Indonesia memang negeri yang sangat indah, sangat rupawan. Salam cinta untuk Indonesia ku!


Terakhir, sedikit senyuman dari gunung papandayan, Garut, Jawa Barat, Indonesia.
ada monster jatuh dari langit
ksatria edelweis, berubah!
jarang-jarang foto di depan curug :v
habis naik tanjakan mamang, letih pisan euy!
ampun, bang!
menikmati indahnya alam #galau
wudhu di telaga hutan mati
boyband hutan mati
menantang mentari
UKMR Naik Gunung Jilid #1

Rabu, 21 Mei 2014

Minuman Beralkohol

Suatu hari di sebuah sekolah dasar, seorang guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ingin mengajarkan pada murid-muridnya tentang pengaruh minuman beralkohol pada makhluk hidup. Guru itu memilih cara percobaan langsung menggunakan makhluk hidup untuk mengajarkan hal tersebut, dengan tujuan agar murid-muridnya lebih yakin dan paham dengan apa yang akan diajarkannya. Ia pun menggunakan dua ekor cacing tanah hidup sebagai bahan percobaannya.

(gambar disadur dari sini)
“Anak-anak, hari ini bapak akan memperlihatkan pada kalian bagaimana pengaruh minuman beralkohol terhadap makhluk hidup, perhatikan baik-baik yang bapak lakukan ini ya!” guru itu memulai percobaannya di hadapan para muridnya.

Ia menyediakan dua gelas, yang mana satu berisi air mineral biasa dan satunya berisi minuman beralkohol. Ia memasukkan seekor cacing hidup ke dalam gelas pertama yang berisikan air mineral biasa. Hasilnya, cacing yang dimasukkan itu masih tetap bergerak-gerak, menggelinjang-gelinjang di dalam gelas yang berisi air mineral biasa tersebut.  Kemudian ia memasukkan cacing tanah hidup yang lain ke dalam gelas yang berisikan minuman beralkohol. Dan hasilnya, cacing tanah itu mati seketika! Cacing tanah itu tidak lagi bergerak setelah dimasukkan ke dalam gelas kedua yang berisikan minuman berlakohol. Para murid memerhatikan dengan seksama, takjub!

“Nah, kalian sudah lihatkan apa pengaruh minuman beralkohol terhadap makhluk hidup? Sekarang, coba Joko, apa yang bisa kamu simpulkan dari yang sudah bapak tunjukkan tadi?” Tanya sang guru pada salah seorang muridnya.


“Kesimpulannya, jika kita minum minuman beralkohol, akan terbebas dari cacingan, pak!”

Semangat Menulis!

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer
Ucapan almarhum ini benar sekali. Banyak yang bisa kita dapatkan dari tulisan yang telah kita buat. Sangat banyak bahkan. Contoh kecilnya, adalah yang saya rasakan sekarang. Andai saya selalu membuat tulisan tentang perjalanan yang telah saya lakukan sebelumnya, mungkin saya tak harus mempersiapkan segala hal dengan repot jika ingin mengulang kembali perjalanan ke tempat tersebut.Cukup dengan membuka tulisan yang telah saya buat sebelumnya, dan voila! Saya akan menemukan apa saja yang harus saya lakukan, apa yang harus saya persiapkan, dan kesalahan apa yang bisa saya hilangkan. Tidak seperti sekarang. Saat saya ingin melakukan perjalanan ke tempat yang padahal sudah pernah saya kunjungi, saya harus berupaya lebih untuk membaca rujukan berupa catatan perjalanan orang lain, yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang akan saya hadapi. Andai saat itu saya lebih rajin untuk membuat tulisan tentang perjalanan saya. Andai.

Tapi ya, late is always better than never, kan? Bismillah, semoga mulai dari sekarang saya bisa melawan semua rasa mala situ. Catatan perjalanan, pelajaran hidup, atau apapun itu, semoga bisa selalu menghasilkan suatu tulisan. Karena tulisan adalah salah satu yang membuat seseorang hidup abadi, kekal, tak lekang oleh waktu. Selamat menulis, salam pena!

Selasa, 06 Mei 2014

Nostalg-IC

Mari ber-“nostalgic” (nostalgia IC).

Ada satu hal yang yang ingat dari almamater saya itu malam ini. Tentang ‘kumpul’.
Kumpul, meski sebetulnya kata ini mengandung banyak tujuan, mulai dari kumpul untuk hanya sekadar bertemu canda, sampai kumpul serius untuk hal semisal rapat membahas suatu hal tentang organisasi, namun ditulisan ini saya ingin lebih menitikberatkan tentang kumpul yang ber’bau’ serius. Kenapa? Karena permasalah kumpul untuk sekadar temu kangen, temu canda, atau pun temu sapa, adalah suatu masalah yang lebih pelik. Karena itu adalah masalah rindu. Ah, mudah-mudahan lain kali saya mampu menulis tentang rindu.

Kembali lagi ke topic, yaitu nostalgic dalam hal kumpul (sekali lagi, kumpul disini dalam artian kumpul serius). Ada perbedaan mencolok yang saya rasakan antara kumpul di kampus dan kumpus di IC. Saya merasa, ngumpul di kampus ini sangat jauh bertolak belakang dengan kumpul yang sering saya alami di IC. Kalau di kampus gajah ini, kumpul adalah seperti suatu hal yang sedikit berat untuk dilakukan. Sedikit susah untuk mengajak orang untuk kumpul di kampus gajah ini. Banyak yang lebih memilih untuk melakukan kegiatan lain ketimbang ikut kumpul. Untuk yang ikut kumpul, akan lebih memilih agar kumpul itu segera selesai dan bisa kembali ke aktivitas masing-masing. Adalah suatu kebahagiaan jika kumpul tersebut bisa selesai dalam waktu yang relative singkat. Akan lebih baik jika kumpul menjadi jarang. Jika tidak kepentingan mendesak, kumpul akan ditiadakan. Jarang diadakannya kumpul akan lebih membuat bahagia.  Pun saya merasa hal yang sama. Saya merasa senang jika suatu kumpul cepat selesai, cepat ‘beres’.  Saya akan sangat senang jika kumpul dibatalkan karena suatu hal. Saya akan sedikit merasa malas jika kumpul lebih sering diadakan.

Dan itulah perbedaan yang saya rasakan dibanding dengan kumpul di IC, madrasah saya sebelum menempuh pendidikan di kampus gajah ini. Ketika di IC, kumpul adalah suatu hal yang sangat ditunggu. Kumpul adalah hal yang bisa menghilangkan kejenuhan. Kumpul adalah hal yang tidak dinginkan cepat berakhir, bahkan terkadang sampai menunggu diusir guru asrama, baru kumpul akan bubar. Kumpul adalah suatu hal yang menyenangkan, membahagiakan. Kumpul adalah hal yang sangat disesalkan bila tiba-tiba dibatalkan. Itulah kumpul yang terjadi di Insan Cendekia. Bahkan, ketika berpapasan di jalan, jika di minggu itu belum ada jadwal kumpul, dengan sendirinya akan terucap ajakan,”kumpul yuk!”. Ya, kumpul menjadi hal yang sangat ingin dilakukan. Mengapa?


Entahlah. Saya tak tahu pasti apa jawabannya. Mengapa kumpul di IC bisa begitu berbeda dengan kumpul di kampus, entahlah. Mungkin, karena saat ini kita adalah mahasiswa, yang berprinsip, berideologi. Mungkin. Yang jelas, saat di Insan Cendekia dulu, waktu kumpul yang lama, hanya sepertiga waktu awal saja yang diisi dengan pembicaraan serius seperti membahas progress kerja dan kawan-kawannya. Sisanya, kumpul akan berubah menjadi sarana bercanda, sarana ejek-ejekan, sarana bermain kartu, sarana traktiran dan makan-makan, sarana gosip, saran tertawa bersama, sarana bahagia bersama. Itulah kenyataan yang terjadi, di Insan Cendikia, dulu. Nostalgic.

PS : ucapan terimakasih terhaturkan untuk kalian, divisi PPBN OS IC 2010/2011, yang pernah mengajarkan bagaimana cara kumpul yang nyaman.

(thanks for that time, team)

Kutipan #10 Tentang Hati

"Bukan mudah untuk menjaga dan memuaskan hati semua orang... tapi berusahalah agar tidak menyakiti hati mereka, walau hati mu disakiti oleh mereka... La Tahzan, Innallah Ma'ana" -anonymous

Kamis, 01 Mei 2014

"Akulah Matahari!"

Di suatu ketika, di sebuah rumah sakit yang khusus untuk menangani pasien yang memiliki gangguan kejiwaan, terjadi sebuah cerita. Cerita itu lebih tepatnya terjadi di salah satu bangsal yang menjadi tempat peristirahatan para pengidap gangguan kejiwaan, di salah satu kamar yang menampung dua orang dengan gangguan kejiwaan. Begini ceritanya.

Di kamar itu, di kamar yang berisikan dua orang yang memiliki gangguan jiwa, salah satu dari mereka, sebut saja A (mohon maaf sebelumnya jika ada yang bernama A), mengangkat meja yang memang disediakan di tiap kamar di rumah sakit tersebut. Si A mengangkat meja tersebut tepat ke tengah-tengah kamarnya. Lantas ia pun menaiki meja tersebut, sembari merentangkan ke dua tangannya selebar-lebarnya ke kiri dan ke kanan. Kemudian si A berkata pada teman kamarnya, sebut saja si B (mohon maaf lagi seblumnya jika ada yang bernama B), “hoi B, lihatlah! Aku ini adalah matahari, akulah sang surya! Akulah yang menyinari dan menerangi seluruh dunia ini! Lihatlah kehebatan ku! Lihatlah cahaya yang terpancar dari seluruh tubuh ku ini!”

Lantas si B pun terlihat sama sekali tidak terima dan menyanggah pernyataan si A tersebut. “Dasar gila kau A!  Sejak kapan pula kau jadi matahari, dasar gila ngaku-ngaku yang aneh!” sahut si B. “Ah, kau yang gila B, masak cahaya ku tak bisa kau lihat?! Dasar gila kau B” balas si A. “Kau yang gila, A!”, “TIdaklah, kau yang gila, B!”. Akibatnya, mereka sempat berdebat untuk beberapa saat, saling tuduh. Setelah beberapa saat berdebat, B mengancam,”Dasar gila! Ku laporkan kau ke pak dokter, A!”. “Kadukan saja sesukamu!” tantang A tanpa gentar sedikitpun.

Si B pun pergi menemui dokter di ruangan dokter tersebut. Di sana, ia melapor,”Lapor, Pak Dokter! Teman kamar saya, si A yang gila itu Pak Dokter, sekarang udah tambah pula gilanya satu lagi Pak Dokter!”. “Loh, kenapa pula bisa nambah gilanya? Kenapa kau bilang begitu?” Tanya pak dokter. SI B menjawab,”Iya Pak Dokter, soalnya sekarang dia lagi naik ke atas meja di di tengah-tengah kamar kami, sambil direntangkannya tangannya lebar-lebar, terus dia bilang pula kalau dia itu adalah matahari yang menyinari dunia ini, kan tambah gilanya satu tu Pak Dokter!”.


“Wah, kayanya si B ini udah mulai sehat nih, udah mulai kurang gilanya, udah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah dia sekarang,” benak pak dokter. Kemudian pak dokter berkata pada si B,”Baiklah kalau gitu, makasih infonya, B! Sekarang saya akan ke kamar kalian untuk menyuruh si A itu turun dari meja,”. Tapi kemudian si B mencegah pak dokter yang ingin menuju kamarnya.”Waduh kalau masalah itu saya betul-betul memohon minta tolong sama Pak Dokter, tolonglah Pak, jangan turunkan si A itu, Pak. Kalau dia Pak Dokter turunkan, bisa gelap nanti jadinya dunia ini Pak, saya takut gelap, Pak!”