Kamis, 30 Juni 2016

Bulan Juni di Mandalawangi

Malam ini, kembali ku sadari bahwa kini kau telah pergi. Dalam gelap yang sunyi ini, resah hati kembali sadari jika kini ku sendiri. Kini aku telah kehilanganmu. Kau pergi meninggalkanku begitu mudahnya, menyisakan berbagai kenangan indah di saat kau masih menemaniku yang selalu menghantui hariku. Kau pergi meninggalkanku begitu cepatnya, menggoreskan kepedihan yang selalu bertambah pedih saat ia bertemu dengan air mata yang jatuh membasahi wajah ini.

Malam ini, kata hati ini ingin terpenuhi. Dalam sepi yang lirih ini, kata hati begitu ingin kau kembali ke dunia ini. Dinginnya hembusan angin gunung ini menambah jelas kekosongan hati yang dulu pernah kau isi. Akankah hembusan ini bisa membawa terbang kepedihanku sampai padamu di sana. Akankah kau pernah mengerti bagaimana perihnya luka yang dalam membekas karena kau tinggalkan ini. Pada rerumputan yang basah ku berharap akan menyampaikan semuanya padamu di sana.

Dalam kegelapan ini, aku bernyanyi lagu sepi. Di tepian lembah mandalawangi ini aku sendiri, tanpa dirimu ada di sisiku. Andai kau tahu, dalam lelap pun terus ku sebut namamu. Mengapa kau harus pergi. Mengapa kau harus meninggalkanku waktu itu.

Kembalilah sayangku, kembalilah kasih.

Minggu, 26 Juni 2016

Kau yang Telah Tiada

Untukmu yang telah kembali kepada ketiadaan. Apa kabarmu di sana. Apakah penyakit yang selama ini menyiksamu masih setia menyakitimu di alam sana.  Ataukah ketiadaan itu telah meniadakan penyakitmu. Aku ingin tahu, bagaimana kondisimu di sana, teman. Adakah di sana kau baik-baik saja. Adakah disana penyakit itu tiada lagi menyiksamu. Katakan padaku. Jika penyakit laknat itu masih menyakitimu disana, mengapa kau harus pergi kepada ketiadaan. Toh kau sama-sama tersiksa. Maafkan aku yang tega berkata begini, tapi aku lebih bahagia jika kau tersiksa di dekatku dari pada kau tersiksa di dalam ketiadaanmu. Jawab aku, bagaimana keadaanmu?

Aku di sini tidak baik-baik saja, jika kau di sana cukup peduli bertanya tentangku. Tapi aku tahu pasti, kau pasti peduli akanku. Aku tidak baik-baik saja, teman, sejak kau pergi tinggalkanku untuk selamanya. Kau tahu dengan pasti, sebelum hadirmu aku selalu merasa hidup ini adalah makhluk jahat, yang selalu menyakiti orang-orang sepertiku. Tidak pernah adil. Lalu hidup mempertemukan aku denganmu, mempertemukan kita. Awalnya ku fikir bahwa akhirnya hidup ini berbaik hati padaku. Tapi nyatanya ia malah ingin menjatuhkanku lebih dalam. Setelah semua perjalanan kita, tiba-tiba ia merenggutmu paksa dariku. Ternyata kau hanyalah cara hidup untuk menbuatku lebih sakit.

Aku tidak menyalahkanmu, tidak sama sekali. Walaupun kau adalah kejahatan, kekejian, kekejaman terburuk yang hidup berikan padaku, bagiku kau tetaplah sahabatku. Kau tetap angin yang menyejukkan di dalam gua panas penderitaanku. Walaupun kini kau, angin itu telah hilang, bahkan untuk selamanya, aku tetap berterimakasih padamu telah pernah hadir untukku.

Tapi mengapa hidup memberikan angin, jika setelah itu ia berubah menjadi badai yang menporak-porandakanku. Aku tak mengerti, mungkin tak kan pernah mengerti tentang hidup ini. Hidup ini memang tidak ada adilnya. Orang bilang ia adil karena tidak adil pada semua orang? Omong kosong. Bagaimana mungkin mereka yang duduk tenang di kursi kebesarannya, si atas singgasananya, di dalam istana megahnya, di atas tumpukan emasnya, bagaimana mungkin hidup tidak adil pada mereka. Hidup hanya tak adil oada orang-orang sepertiku, seperti kita. Hidup hanya bisa menyiksa orang lemah seperti kita. Hidup tidak pernah adil. Ia bukan tuhan.