Empat tahun telah berlalu sejak saya ditolak untuk bisa berkuliah di Jepang. Padahal, sudah berbagai jalur saya coba agar bisa menggapai cita-cita saat itu, melanjutkan studi di negeri sakura. Berbagai macam jenis tes diikuti. Mulai dari program yang diadakan oleh pihak Indonesia seperti ILA, sampai berbagai macam program yang diadakan oleh pihak Jepang seperti Monbusho dan kawan-kawannya yang bahkan saya sudah lupa apa nama jalurnya. Yang saya ingat dengan pasti, tidak kurang dari tiga atau empat jalur telah saya usahakan semaksimal mungkin agar bisa melanjutkan studi, atau kuliah di Jepang.
Uniknya, tidak ada satupun dari seleksi yang saya ikuti tersebut berhasil saya lewati. Tidak ada satu jalur pun yang berhasil saya lalui untuk bisa kuliah di Jepang. Ada saja kendalanya. Padahal kalau saya fikir waktu itu, saya bukannya tidak mampu untu bisa lolos paling tidak di salah satu jalur itu. Sejujurnya saat itu ketika melihat banyaknya nama-nama yang lolos untuk jalur-jalur tersebut, saya fikir seharusnya nama saya juga termasuk ke dalam daftar orang yang lolos itu. Bahkan masih tergambar jelas bagaimana rasanya melihat pengumuman kelulusan di dalam mesjid sehabis sholat, dan di sana tidak ada nama saya padahal banyak sekali nama kalian tertera di sana. Belasan kalian kalau tidak salah berhasil lolos untuk kuliah di Jepang melalui jalur itu. Tapi kenapa tidak ada nama saya? Segagal itukah saya?
Namun tidak sampai di situ saja. Perjuangan untuk kuliah di Jepang tetap saya lanjutkan melalui berbagai jalur lainnya. Bahkan sampai saat saya sudah mulai berkuliah di ITB, tetap saya masih memperjuangkan jalur terakhir yang ada saat itu. Dan saya lolos sampai ke tahap akhir! Namun setelah dilihat sekali lagi, tahap seleksi akhir itu harus dilakukan di luar Pulau Jawa, dan harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Hebatnya, saya satu-satunya di antara teman-teman yang diharuskan seleksi akhir di sana. Sakit? Pastinya!
Akhirnya, saat itu, saya berfikir bahwa sepertinya saya memang tidak ditakdirkan untuk kuliah di Jepang. Kemudian saya pun mencari alasannya, karena sejujurnya saya sangat kecewa, saat itu. Setelah dicari, saat itu saya menyimpulkan dari hasil pembicaraan dengan orang tua, bahwa saya tidak ditakdirkan kuliah di Jepang karena mereka khawatir terhadap saya bila terlalu jauh dari mereka. Mereka takut jika saya akan terbawa arus bila berada di negeri yang di sana tidak diperbolehkan syiar agama. Baiklah, saat itu saya terima. Mungkin memang itu yang terbaik untuk saya, toh orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya.
Tapi ternyata tidak. Saat ini, saya baru menyadarinya. Bahwa yang membuat saya tidak lulus untuk kuliah di Jepang lebih dari sekedar kekhawatiran orang tua. Hari ini, saya tersadar, bahwa ada yang ternyata jauh lebih menyayangi siapapun yang ada di dunia ini lebih dari orang tua orang tersebut. Dan dialah yang telah tidak membiarkan saya untuk kuliah di Jepang. Dialah Allah. Hari ini saya sadar, akankah jika saya di Jepang, saya akan mendapatkan salah satu nikmat terbesar yang diberikannya kepada hambanya? Akankah jika saya kuliah di Jepang, saya mendapat nikmat hidayah untuk bisa menyesali semua perbuatan dosa yang telah banyak menumpuk di dalam buku catatan amal saya? Bukankah jika saya kuliah di sana, maka fitnah dunia akan semakin besar? Bukankah jika saya di sana, akan semakin sulit bagi saya untuk bisa menjaga iman?
Maka nikmat tuhan yang mana yang bisa ku dustakan. Hanya Allah, satu-satunya yang selalu menginginkan yang terbaik untuk semua orang, tanpa terkecuali. Bahkan kini saya sadar, bagaimana orang tua saya ingin saya lulus tepat waktu, namun Allah berkeinginan lain. Bukankah orang tua saya menginginkan yang terbaik untuk anaknya? Itu pasti. Tapi bukankah Allah juga menginginkan yang terbaik untuk hambanya, dan dia jauh lebih tau mana yang terbaik untuk hambanya? Sungguh itu jauh lebih pasti. Saya berfikir, akankah saya bisa menulis seperti ini jika saya lulus tepat waktu empat tahun? Akankan saya bisa menyesali semua maksiat dan dosa yang sudah bertumpuk jika saya lulus empat tahun?
Maka benarlah, hanya Allah yang mutlak tahu yang terbaik untuk semua hambanya. Hanya Allah yang paling menyayangi hambanya, paling mencintai hambanya. Dan jika dia memberi nikmat kepada teman-teman saya melalui gelar sarjana di tahun ke empat, maka saya sangat bersyukur dia memberi nikmat kepada saya berupa teguran darinya di tahun ke empat. Tidak ada satupun di dunia ini yang pantas membuat saya tidak bersyukur padanya. Dia selalu punya rencana yang terbaik untuk hambanya. Percayalah.
NB: Teruntuk ke dua orang tua, ayah dan bunda, maafkan anakmu belum bisa membuat kalian bangga dengan toga dan wisuda. Akan saya usahakan secepatnya, tentu dengan izin-Nya. Doakan saja.